Sabtu, 10 Oktober 2015

keruntuhan jurnalisme buku dudi sabil iskandar










nama : kodri haidir
NIM : 1471506384


BAB I
INDIKATOR KERUNTUHAN JURNALISME
A.      JURNALISME BIAS
Harus diakui kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi, unik dan fenomenal. Unik karena gaya kepemimpinan yang ditampilkan berbeda dengan mayoritas kepemimpinan yang ada mulai tingkat presiden, gubernur, walikota, hingga bupati.
Jokowi merupakan figure pemimpin yang rela berkotor dengan lumpur. Ia bukan sosok yang berada dimenara gading; tidak dipengaruhi riuhnya wacana lisan dan omong besar seperti pejabat public lain. Pun tidak menyampaikan dalam bentuk orasi dan tulisan, tetapi terjun langsung berkotor dengan lumpur; menyapa rakyat; mendengar keluh kesah kaum dhuafa; mnyerpa aspirasi wong cilik.
Tak Kritis
Menurut teori jurnalistik, unik dan memiliki keluarbiasaan merupakan dua poin dari news values (nilai berita). Dua nilai berita itu ada pada diri jokowi. Satu nilai berita lain yang tidak disengaja dimiliki Jokowi adalah proximity (kedekatan).
B.      JURNALISME DAN’ AMPLOP BESAR’
Pada duamilist institusi wartawan yang berbeda tertera ‘Undangan mengambil THR (tunjangan hari raya)’ di salah satu instansi pemerintah. Tentu saja ada yang tertawa senang, ada yang mencibir dengan garam, ada yang mengkritik. Pun tentu tentu saja ada yang menyambutnya. Singkat kata di dua milist tersebut terjadi pro dan kontra. Inti dari isi milist tersebut intitusi pemerintah tersebut menyediakan THR untuk wartawan yang bertugas (ngepos) atau sehari-hari meliputi kegiatan intitusi pemerintah itu.
Harus diakui, di negri ini penguasa media bukanlah bukanlah berasal dari wartawan yang ideals, meski kita tidak menutup beberapa media untuk perjuangan wlaupun berdarah-darah.
C.      Jurnalisme dan Budaya Copy Paste
Dalam konteks kerja sama dan saling berbagi informasi di lapangan sesame wartawan tidak ada yang salah. Yang yang menyimpang adalah menulis berita dengan tanpa usaha kecil copy paste dari tulisan wartawan lain dengan hanya mengubah beberapa kata saja. “Katanya,” katanya diganti dengan “Ujarnya”. “ia menjelaskan” ditukar dengan “dia membeberkan dan segalanya. Kehadiran teknologi komunikasi dan informasi serta teknologi transportasi mentebabkan percepatan dan kecepatan dalam segala hal, termasuk dalam dunia jurnalisme, khususnya berkaitan dengan produksi beria diberbagai media.
D.      Jurnalisme Pembuat Heboh
Kontruksi sosial media massa salah satu membentuk konstruksi di dunia modern adalah media massa. Seraya melontarkan kritik terhadap Berger dan Luckmann, Burhan Bungin, menyebutkan media massa, termasuk surat kabar, menjadi variable yang sangat substansif dalam proses eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Karena pengaruh media masa itulah ia munculkan teori baru sekaligus revisi terhadap berger dan luckmann dengan tiga terminologi itu. Dengan demikian, berita sebagai hasil konstruksi media massa terhadap suatu peristiwa yang dijadikan acuan khalayak bukan realitas sebenarnya. Ia menjadi realitas buatan atau realitas kedua (second hand reality).
Era baru konstruksi media kemunculan media akses yang berbasis internet kian mempertajam efek media. Internet memiliki kemampuan yang belum ada sebelumnya untuk memperkembangkan bentuk baru rlasi social.

BAB II
PENYEBAB KERUNTUHAN JURNALISME
A.      POSTMODERNISME
Alam pikiran postmodernisme mengutuk apa pun, tetapi tidak mengusulkan apapun.
Dalam setiap pergantian era atau narasi kehidupan manusia sesalu menimbulkan dan ditandai dengan kontroversi. Jika mengikuti fase tiga kehidupan manusia versi August Comte (mistis, teologis, dan postivis), peralihan zaman dari mistis ke metafisis di guncang oleh munculnya agama.  Agama ini yang menggantikan era mistis.
Postmodernisme adalah konteks sosiologi (perkembangan masyarakat) pertama kali muncul di Amerika Serikat akhir 1980an. Masyarakat ini adalah masyarakat yang secara finansial, pengetahuan, relasi, dan semua prasyarat masyarakat modern terlampau. Artinya gejala postmodernisme muncul di berbagai belahan dunia jika masyarakatnya sudah memenuhi atau memiliki material, namun ia kering dari sudut kekayaan batin seperti di kemukakan Burhan Bungin di mulai karena modernism berpilarkan rasio, ilmu, dan antropomorphisme.

GEJALA POSTMODERNISME merupakan gerakan kontemporer. Geraka ini kuat dan modis. Namun, tidak jelas apa gerakan ini. Tidak hanya sulit mempraktekannya, bahkan sulit juga menolaknya. Oleh sebab itu, postmodernisme antithesis modernism bukan saja proyeksi culture studies tetapi juga keniscayaan yang selalu mengelilingi dunia kita.
B.      CULTURAL STUDIES
Communication is founding of our culture. Mengrikan. Begitulah kesan pertama membaca teori komunikasi cultural studies. Rumit, kompleks, dan ibarat harus mengurai benang kusut. Tidak tahu dari mana mulainya. Membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas untuk menyususn all abut cultural studies dalam sebuah ranah yang mudah di pahami.
Kegalauan sematik
Kebudayaan (culture), kata Bambang Sugiarto, adalah salah satu dua tau tiga istilah yang paling rumit dalam bahasa inggris. Ia bukan lagi monopoli kajian antroplologi. Kebudayaan sejajar dengan penyakit dalam  kedokteran, evolusi dalam biologi, dan gravitasi dalam fisika yang mencengangkan adalah budaya menjadi pusat gravitasi filsafta sejak awal ke-20.
Awalnya culture berarti pengolahan tanah. Perawatan dan penembangan hewan ternak. Ia kemudian berkembang hingga gagasan tentang keunikan adat istiadat suatu masyarakat.


Futurolog Ziauddin Sardar, mencatat lima karakter utama cultural studies, yaitu :
1.       Cultural bertujuan meneliti subyek masalah di sekitar pabrik budaya dan hubungannya terhadap kekuasaan.  Misalnya studi subbudaya kehidupan kaum pekerja muda kulit putih di London, ditengarai sebagai praktik social kaum muda dalam hubungannya kelas dominan.
2.       Memiliki tujuan obyektif dalam memahami budaya dan bentuk-bentuknya yang kompleks dan menganalisis konteks social politik dimana budaya sendiri terwujud.
3.       Obyek studi dan posisinya adalah kritisme dan aksi. Misalnya tidak hanya peran peneliti studi budaya mempelajari obyek, tetapi ia menghubungkan studi ini kearah yang lebih besar, yakni kancah politik progresif.
4.       Berusaha membuka dan rekonsilisasi terhadap pengetahuan budaya dan bentuk obyek pengetahuaan.
5.       Memiliki komitmen pada evaluasi etnik masyarakat social dan aksi politis barisan radikal.
Sejarah
Culture studies pertama kali muncul Birmingham, inggris melalui mirmingham center for contemporary culturan studies sekitar 1950an. Perintisnya adalah Richard hogart dan Raymon Williams. Namun, cultural studies menemukan kejayaannya di tangan stuart Hall. Sebagai perbandingan tentang sejarah kelahiran culture studies lain dari Richard West-Lynn H.turner.

Birmingham centre memerlakukan media sebagai fenomena yang secara mendasar ideologis dan peka terhadap konteks kultural. Interaksi antara audiens, pesan media, komunikator dan budaya sangatlah kompleks dan hanya bias didekati dengan metode etnografi yang melalui interpretasi, interview kualitatif, dan observasi.

Secara individual, kontribusi Hall dekstraksikan dalam konsep Encoding/Decoding. Didalam essainya yang sangat berpengaruh. Hall menunjukkan Audiens, teks media, dan produsen pesan berada dalam interkasi yang kompleks. Konsep tersebut mengintegrasikan  analisis semiotok dan sosiologis atas fenomena bermedia yang memberikan porsi yang sama atas peran audiens dan produsen pesan. Konsep ini menengahi perdebatan yang mempertanyakan pihak yang dominan, media, atau audiens, sekaligus memberikan tafsir baru atas audiens dalam pemahaman sebeumnya audiens di anggap sangat lemah atau bila tidak, audiens sebagai pihak yang otonom sama sekali.