nama : kodri haidir
NIM : 1471506384
BAB I
INDIKATOR KERUNTUHAN JURNALISME
A. JURNALISME BIAS
Harus diakui
kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi,
unik dan fenomenal. Unik karena gaya kepemimpinan yang ditampilkan berbeda
dengan mayoritas kepemimpinan yang ada mulai tingkat presiden, gubernur,
walikota, hingga bupati.
Jokowi merupakan
figure pemimpin yang rela berkotor dengan lumpur. Ia bukan sosok yang berada
dimenara gading; tidak dipengaruhi riuhnya wacana lisan dan omong besar seperti
pejabat public lain. Pun tidak menyampaikan dalam bentuk orasi dan tulisan,
tetapi terjun langsung berkotor dengan lumpur; menyapa rakyat; mendengar keluh
kesah kaum dhuafa; mnyerpa aspirasi wong cilik.
Tak Kritis
Menurut teori
jurnalistik, unik dan memiliki keluarbiasaan merupakan dua poin dari news values (nilai berita). Dua nilai
berita itu ada pada diri jokowi. Satu nilai berita lain yang tidak disengaja
dimiliki Jokowi adalah proximity
(kedekatan).
B.
JURNALISME
DAN’ AMPLOP BESAR’
Pada duamilist institusi wartawan yang
berbeda tertera ‘Undangan mengambil THR (tunjangan hari raya)’ di salah satu
instansi pemerintah. Tentu saja ada yang tertawa senang, ada yang mencibir
dengan garam, ada yang mengkritik. Pun tentu tentu saja ada yang menyambutnya.
Singkat kata di dua milist tersebut
terjadi pro dan kontra. Inti dari isi milist tersebut intitusi pemerintah
tersebut menyediakan THR untuk wartawan yang bertugas (ngepos) atau sehari-hari
meliputi kegiatan intitusi pemerintah itu.
Harus diakui, di
negri ini penguasa media bukanlah bukanlah berasal dari wartawan yang ideals,
meski kita tidak menutup beberapa media untuk perjuangan wlaupun
berdarah-darah.
C.
Jurnalisme
dan Budaya Copy Paste
Dalam konteks
kerja sama dan saling berbagi informasi di lapangan sesame wartawan tidak ada
yang salah. Yang yang menyimpang adalah menulis berita dengan tanpa usaha kecil
copy paste dari tulisan wartawan lain
dengan hanya mengubah beberapa kata saja. “Katanya,” katanya diganti dengan
“Ujarnya”. “ia menjelaskan” ditukar dengan “dia membeberkan dan segalanya.
Kehadiran teknologi komunikasi dan informasi serta teknologi transportasi
mentebabkan percepatan dan kecepatan dalam segala hal, termasuk dalam dunia
jurnalisme, khususnya berkaitan dengan produksi beria diberbagai media.
D.
Jurnalisme
Pembuat Heboh
Kontruksi sosial media massa salah satu
membentuk konstruksi di dunia modern adalah media massa. Seraya melontarkan
kritik terhadap Berger dan Luckmann, Burhan Bungin, menyebutkan media massa,
termasuk surat kabar, menjadi variable yang sangat substansif dalam proses
eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Karena pengaruh media masa
itulah ia munculkan teori baru sekaligus revisi terhadap berger dan luckmann
dengan tiga terminologi itu. Dengan demikian, berita sebagai hasil konstruksi
media massa terhadap suatu peristiwa yang dijadikan acuan khalayak bukan
realitas sebenarnya. Ia menjadi realitas buatan atau realitas kedua (second
hand reality).
Era baru konstruksi media kemunculan
media akses yang berbasis internet kian mempertajam efek media. Internet
memiliki kemampuan yang belum ada sebelumnya untuk memperkembangkan bentuk baru
rlasi social.
BAB II
PENYEBAB KERUNTUHAN JURNALISME
A.
POSTMODERNISME
Alam pikiran postmodernisme mengutuk apa
pun, tetapi tidak mengusulkan apapun.
Dalam setiap
pergantian era atau narasi kehidupan manusia sesalu menimbulkan dan ditandai
dengan kontroversi. Jika mengikuti fase tiga kehidupan manusia versi August
Comte (mistis, teologis, dan postivis), peralihan zaman dari mistis ke
metafisis di guncang oleh munculnya agama.
Agama ini yang menggantikan era mistis.
Postmodernisme
adalah konteks sosiologi (perkembangan masyarakat) pertama kali muncul di
Amerika Serikat akhir 1980an. Masyarakat ini adalah masyarakat yang secara
finansial, pengetahuan, relasi, dan semua prasyarat masyarakat modern
terlampau. Artinya gejala postmodernisme muncul di berbagai belahan dunia jika
masyarakatnya sudah memenuhi atau memiliki material, namun ia kering dari sudut
kekayaan batin seperti di kemukakan Burhan Bungin di mulai karena modernism
berpilarkan rasio, ilmu, dan antropomorphisme.
GEJALA
POSTMODERNISME merupakan gerakan kontemporer. Geraka ini kuat dan modis. Namun,
tidak jelas apa gerakan ini. Tidak hanya sulit mempraktekannya, bahkan sulit
juga menolaknya. Oleh sebab itu, postmodernisme antithesis modernism bukan saja
proyeksi culture studies tetapi juga keniscayaan yang selalu mengelilingi dunia
kita.
B.
CULTURAL
STUDIES
Communication is founding of our culture.
Mengrikan. Begitulah kesan pertama membaca teori komunikasi cultural studies.
Rumit, kompleks, dan ibarat harus mengurai benang kusut. Tidak tahu dari mana
mulainya. Membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas untuk
menyususn all abut cultural studies dalam sebuah ranah yang mudah di pahami.
Kegalauan sematik
Kebudayaan
(culture), kata Bambang Sugiarto, adalah salah satu dua tau tiga istilah yang
paling rumit dalam bahasa inggris. Ia bukan lagi monopoli kajian antroplologi.
Kebudayaan sejajar dengan penyakit dalam
kedokteran, evolusi dalam biologi, dan gravitasi dalam fisika yang
mencengangkan adalah budaya menjadi pusat gravitasi filsafta sejak awal ke-20.
Awalnya culture
berarti pengolahan tanah. Perawatan dan penembangan hewan ternak. Ia kemudian
berkembang hingga gagasan tentang keunikan adat istiadat suatu masyarakat.
Futurolog
Ziauddin Sardar, mencatat lima karakter utama cultural studies, yaitu :
1.
Cultural bertujuan meneliti subyek masalah di
sekitar pabrik budaya dan hubungannya terhadap kekuasaan. Misalnya studi subbudaya kehidupan kaum
pekerja muda kulit putih di London, ditengarai sebagai praktik social kaum muda
dalam hubungannya kelas dominan.
2.
Memiliki tujuan obyektif dalam memahami budaya
dan bentuk-bentuknya yang kompleks dan menganalisis konteks social politik
dimana budaya sendiri terwujud.
3.
Obyek studi dan posisinya adalah kritisme dan
aksi. Misalnya tidak hanya peran peneliti studi budaya mempelajari obyek,
tetapi ia menghubungkan studi ini kearah yang lebih besar, yakni kancah politik
progresif.
4.
Berusaha membuka dan rekonsilisasi terhadap pengetahuan
budaya dan bentuk obyek pengetahuaan.
5.
Memiliki komitmen pada evaluasi etnik masyarakat
social dan aksi politis barisan radikal.
Sejarah
Culture
studies pertama kali muncul Birmingham, inggris melalui mirmingham center for
contemporary culturan studies sekitar 1950an. Perintisnya adalah Richard hogart
dan Raymon Williams. Namun, cultural studies menemukan kejayaannya di tangan
stuart Hall. Sebagai perbandingan tentang sejarah kelahiran culture studies
lain dari Richard West-Lynn H.turner.
Birmingham
centre memerlakukan media sebagai fenomena yang secara mendasar ideologis dan
peka terhadap konteks kultural. Interaksi antara audiens, pesan media,
komunikator dan budaya sangatlah kompleks dan hanya bias didekati dengan metode
etnografi yang melalui interpretasi, interview kualitatif, dan observasi.
Secara
individual, kontribusi Hall dekstraksikan dalam konsep Encoding/Decoding.
Didalam essainya yang sangat berpengaruh. Hall menunjukkan Audiens, teks media,
dan produsen pesan berada dalam interkasi yang kompleks. Konsep tersebut
mengintegrasikan analisis semiotok dan
sosiologis atas fenomena bermedia yang memberikan porsi yang sama atas peran
audiens dan produsen pesan. Konsep ini menengahi perdebatan yang mempertanyakan
pihak yang dominan, media, atau audiens, sekaligus memberikan tafsir baru atas
audiens dalam pemahaman sebeumnya audiens di anggap sangat lemah atau bila
tidak, audiens sebagai pihak yang otonom sama sekali.